Kurikulum dan Pengembangannya
Eureka Pendidikan. Dalam wacana perbaikan pendidikan nasional, kurikulum pada umumnya tidak pernah lepas dari pembahasan. Hal tersebut berdasarkan pada pandangan bahwa kurikulum menjadi hal yang cukup esensi dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Perubahan kurikulum ini, selalu menimbulkan reaksi tersendiri dari berbagai pihak. Maka, agar dapat lebih bijak memahami suatu hal secara substansi maka diperlukanlah pemahaman terkait kurikulum dan landasan dasar pengembangan kurikulum pendidikan nasional.
Pada awal kemunculannya kata kurikulum sebenarnya tidak sama sekali berkaitan dengan dunia pendidikan. Secara etimologi, kurikulum berasal dari penggalan dua kata bahasa Yunani, yakni curir yang berarti pelari dan carere yang berarti tempat berpacu. Sehingga dapatlah dipahami bahwa kurikulum pada mulanya digunakan pada bidang olahraga, yang bermakna jarak yang perlu ditempuh oleh pelari dari garis start hingga garis finish. Kemudian, pada perkembangannya kurikulum digunakan dalam bidang pendidikan dari etimologi tersebut. Baru pada tahun 1855, istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan yang mengandung arti sejumlah mata pelajaran pada perguruan tinggi. Dalam kamus Webster kurikulum diartikan dalam dua macam, yaitu:
a.Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari murid di sekolah atau perguruan tinggi untuk
memperoleh ijazah tertentu.
b.Sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau departemen.
Berdasarkan pandangan sederhana, dipahami bahwa kurikulum diartikan sebagai program pendidikan yang meliputi berbagai mata pelajaran atau mata kuliah yang harus dipelajari peserta didik dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi yang berlaku pada sistem persekolahan. Dalam hal ini kurikulum berkaitan dengan rencana pengajaran, rencana belajar bagi peserta didik dan pengalaman belajar yang akan diperoleh peserta didik dari sekolah atau perguruan tinggi. Sehingga, kurikulum hanya berkaitan dengan aktivitas belajar peserta didik yang ada di dalam kelas atau dikenal dengan kegiatan kurikuler. Kurikulum yang mulanya berupa jarak lari diintepretasikan dalam bentuk serangkaian mata pelajaran yang dipelajari dan harus dikuasai peserta didik sehingga yang utama adalah pengembangan aspek pengetahuannya.
Pemahaman akan kurikulum, pada perkembangannya tidak hanya berkaitan dengan mata pelajaran semata. Hamid Hasan (dalam Hidayat, 2013: 22) menguraikan konsep kurikulum pada pandangan modern yang meninjau kurikulum dalam empat dimensi: 1) Kurikulum sebagai suatu ide yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian, khususnya dalam bidang kurikulum dan pendidikan. 2) Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide, yang di dalamnya memuat tujuan, bahan, kegiatan, alat-alat dan waktu. 3) Kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dalam bentuk praktik pembelajaran. 4) Kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekuensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan, dalam bentuk ketercapaian tujuan kurikulum yakni tercapainya perubahan perilaku atau kemampuan tertentu dari peserta didik.
Pandangan modern, lebih substansi dalam memahami kurikulum, karena di dalamnya tidak hanya berkaitan dengan mata pelajaran, melainkan mengandung ide, bahan pelajaran, aktivitas belajar dan hasil belajar. Melalui pandangan ini, maka sistem pendidikan nasional menguraikan kurikulum sebagaimana yang ada dalam UU No.20 Tahun 2003 (Pasal 1 ayat 9) yang berbunyi, “Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Apabila ditinjau melalui sosiologi pendidikan, kurikulum memegang peran yang cukup kompleks. Karena sebagai bagian dari pendidikan, kurikulum dirumuskan berdasarkan kondisi dan harapan masyarakat. Menurut Brown (dalam Hamadi, 2004: 129), kurikulum merupakan situasi kelompok yang tersedia bagi guru dan pengurus sekolah (administrator) untuk membuat tingkah laku yang berubah di dalam arus yang tidak putus-putusnya dari anak-anak dan pemuda melalui pintu sekolah. Sehingga dalam hal ini dapatlah dipahami bahwa, kurikulum merupakan situasi dan kondisi yang ada untuk mengubah sikap anak. Definisi tersebut memberikan pemahaman bahwa situasi dan kondisi yang ada di lingkungan pendidikan formal diarahkan pada tujuan yang telah ditentukan. Bahkan kurikulum termasuk di dalamnya: subject matter, organisasi sekolah dan organisasi kelas, serta pengukuran.
Kemudian menurut Payne (dalam Hamadi, 2004:130), kurikulum terdiri dari semua situasi di sekolah sehingga dapat menyelidiki dan mengorganisir secara sadar untuk tujuan pengembangan kepribadian peserta didik dengan tujuan adanya perubahan tingkah laku. Maka konsepsi sekolah sebagai suatu pelaksana pengendali sosial berarti bahwa kurikulum tidak dapat dibatasi oleh kepentingan anak dengan segera, tetapi mesti diorganisir dalam pengetahuan tentang nilai-nilai sosial. Jadi tidak dibatasi perubahan tingkah laku yang segera, tetapi mesti melihat juga tingkah laku perubahan jarak dari masyarakat. Oleh karena itu, dapatlah dipahami bahwa kurikulum yang memiliki tujuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, sebenarnya tidak lepas dari dinamika masyarakatnya. Karena pada dasarnya tujuan pendidikan nasional, tidak hanya berbatas pada pengembangan kepribadian seseorang semata melainkan juga menuju pribadi yang dapat berperan dalam dinamika masyarakat.
Lebih spesifik lagi, Rustaman (2005: 21) memberikan pemahaman bahwa kurikulum disusun untuk jangka panjang. Karena itu harus memiliki sifat antisipasi yang berarti harus dapat melihat jauh ke depan, meramalkan kejadian di masa mendatang. Kurikulum memuat komponen-komponen yang menunjang suatu proses pendidikan, antara lain apa yang sebenarnya harus dipelajari. Kurikulum senantiasa bersifat dinamis guna lebih menyesuaikan dengan berbagai perkembangan pengetahuan dan tuntutan zaman, serta untuk lebih memantapkan hasil belajar sesuai dengan tujuan.
Kurikulum dalam pendidikan nasional sendiri telah berganti beberapa kali, yakni kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan 2013. Hamalik (dalam Hidayat 2003: 1) mengemukakan bahwa, perubahan kurikulum dipengaruhi oleh beberapa faktor : 1) Tujuan filsafat pendidikan nasional yang dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan tujuan institusional yang pada gilirannya menjadi landasan merupakan tujuan kurikulum suatu satuan pendidikan. 2) Sosial budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. 3) Keadaan lingkungan (interpersonal, cultural, biokologi dan geokologi), 4) Kebutuhan pembangunan Poleksosbudhankam. 5) Perkembangan Iptek yang sesuai dengan sistem nilai dan kemanusiaan serta budaya bangsa.
Pada umumnya perubahan kurikulum biasanya dimulai dari perubahan konsepsional yang fundamental yang diikuti oleh perubahan struktural. Pembaharuan dikatakan bersifat sebagian bila hanya terjadi pada komponen tertentu saja, misalnya pada tujuan saja, isi saja, metode saja atau sistem penilaian saja. Perubahan kurikulum bersifat menyeluruh bila mencakup perubahan semua komponen kurikulum. Menurut Sudjana (1993: 37) pada umumnya perubahan struktural kurikulum menyangkut komponen kurikulum, yakni:
a.Perubahan dalam Tujuan
Perubahan ini didasarkan pada pandangan hidup masyarakat dan falsafah bangsa. Tanpa tujuan yang jelas
tidak akan membawa perubahan yang berarti.
b.Perubahan Isi dan Struktur
Perubahan ini meninjau struktur mata pelajaran-mata pelajaran yang diberikan kepada peserta didik
termasuk isi dari setiap mata pelajaran. Perubahan ini dapat menyangkut isi mata pelajaran, aktivitas
belajar anak, pengalaman yang diberikan pada anak, juga organisasi atau pendekatan dari mata
pelajaran-mata pelajaran tersebut. Apakah diajarkan secara terpisah-pisah (subject matter curriculum),
apakah lebih mengutamakan kegiatan dan pengalaman anak (activity curriculum) atau diadakan
pendekatan interdisipliner (correlated curriculum) atau dilihat proporsinya masing-masing jenis, mana
yang termasuk pendidikan umum, pendidikan keahlian, pendidikan akademik, dan lain-lain.
c.Perubahan Strategi Kurikulum
Perubahan ini menyangkut pelaksaan kurikulum itu sendiri yang meliputi perubahan teori belajar-
mengajar, perubahan sistem administrasi, bimbingan dan penyuluhan, perubahan sistem penilaian hasil
belajar.
d.Perubahan Sarana Kurikulum
Perubahan ini menyangkut keteganaan baik dari segi kualitas dan kuantitas, juga sarana material
berupa perlengkapan sekolah, seperti laboratorium, perpustakaan, alat peraga.
e.Perubahan dalam Sistem Evaluasi Kurikulum
Perubahan ini menyangkut metode atau cara yang paling tepat untuk mengukur atau menilai sejauh mana
kurikulum berjalan efektif dan efisisen, relevan dan produktivitas terhadap program pembelajaran sebagai
suatu sistem dari kurikulum.
Dengan demikian, dapatlah dipahami kurikulum bukan hanya berkaitan dengan mata pelajaran. Karena kurikulum secara mendasar berkaitan dengan seluruh aktivitas yang ada di sekolah dan perguruan tinggi yang dinamikanya tidak terlepas dengan dinamika masyarakat. Sehingga pengembangan kurikulum pun mengikuti dinamika yang ada pada masyarakat.
Bahan Pustaka: Ahmadi, Abu. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Hidayat, Sholeh. 2013. Pengembangan Kurikulum Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Rustaman, Nuryani. 2005. Strategi Belajar-Mengajar Biologi. Malang: Universitas Negeri Malang Press