Pengertian dan Jenis-Jenis Pengawas Pendidikan
Kholil (UIN Sunan Kalijaga)
Eureka Pendidikan. Menurut Yusuf dalam Hasan, et all (2002: 3) “Pedoman Pengawasan untuk Madrasah dan Sekolah Umum” mengutip bahwa tercapai tidaknya ketuntasan
belajar pada suatu pokok bahasan yang diajarkan di kelas bergantung kepada banyak hal, diantaranya mencakup kemampuan guru, potensi peserta didik, metode mengajar, dan sistem pengaturan proses belajar mengajar seperti alokasi waktu yang tersedia, sistem ulangan/evaluasi. Namun ada hal lain yang sangat menentukan tercapai tidaknya ketuntasan belajar yaitu perilaku guru dalam mengajar dan perilaku peserta didik dalam belajar. Jika guru bersungguh-sungguh dalam mengajar dan peserta didik bekerja keras dalam belajar, maka prestasi belajar peserta didik atau mutu lulusan hanya dibatasi oleh kemampuan guru dan potensi peserta didik saja. Apalagi jika guru memahami dan menerapkan prinsip belajar tuntas dalam mengajar.
Masalah yang paling penting disini adalah adanya usaha yang mencakup: pertama, kesungguhan guru dan peserta didik dalam pembelajaran; kedua, meningkatkan kemampuan guru dalam mengajar; ketiga, penerapan prinsip belajar tuntas. Ketiga jenis usaha inilah yang sebenarnya menjadi inti dari upaya menjamin dan meningkatkan mutu lulusan lembaga pendidikan. Salah satu kunci untuk mewujudkan usaha tersebut adalah pengawasan yakni kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang diposisikan sebagai pengawas yang tugas pokoknya adalah memantau, mengendalikan, dan memberikan bantuan agar tujuan pengajaran dapat tercapai secara optimal.
Pengawas merupakan penanggung jawab utama atas aktivitas pembinaan sekolah/madrasah sesuai dengan jenis atau kegiatan
pendidikan dan pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan dalam kedudukan dan fungsinya. Tugas pengawas harus berhubungan dengan dan meramu data yang dikumpulkan oleh pengawas lainnya, kemudian disimpulkan untuk menentukan alternatif tindakan yang tepat.
Secara etimologi, kata pengawasan (supervise) merupakan istilah dalam bahasa Inggrisnya Supervision, terdiri dari dua kata, yaitu super dan vision, yang berarti melihat dari atas ke bawah dengan teliti pekerjaan secara keseluruhan. Sedangkan orang yang melakukan kegiatan supervisi tersebut, dikenal dengan supervisor/pengawas. Sekedar gambaran di bawah ini dikutipkan dari beberapa pengertian supervisi yang dirumuskan oleh para pakar, antara lain: Baharuddin harahap dalam bukunya Supervisi Pendidikan, menyatakan: Supervisi ialah kegiatan yang dijalankan terhadap orang yang menimbulkan atau yang potensial menimbulkan komunikasi dua arah (Harahap, 1983: 14).
Ngalim Purwanto (1979), dalam bukunya Administrasi Pendidikan, menyatakan: Supervisi ialah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif (Ngalim, 1979: 26).
Ametembun, dalam bukunya Supervisi Pendidikan, menyatakan: Supervisi Pendidikan adalah pembinaan ke arah perbaikan situasi pendidikan pada umumnya dan peningkatan mutu belajar mengajar di kelas pada khususnya (Ametembun, 1999: 23). Hendiyat Soetopo, Wasty Soemanto, (1988: 57) mengatakan bahwa istilah supervisi secara umum, berarti mengamati, mengawasi atau membimbing dan menstimulasi kegiatan-kegiatan orang lain dengan maksud untuk perbaikan.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas dapat dikemukakan secara sederhana bahwa supervisi pada dasarnya upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran di sekolah. Ia berintikan program pengajaran dengan ditunjang oleh unsur-unsur lain seperti guru, sarana prasarana, kurikulum, sistem pengajaran dan penilainan. Supervisor bertugas dan bertanggung jawab memperhatikan perkembangan unsur-unsur tersebut secara berkelanjutan.
Pusat perhatian supervisor adalah perkembangan dan kemajuan peserta didik, karena itu usahanya, seperti perbaikan pendekatan, metode dan teknik mengajar, pengembangan kurikulum, penggunaan alat peraga/alat bantu pengajaran, perbaikan cara dan prosedur penilaian, penciptaan kondisi yang kondusif di sekolah/madrasah dan sebagainya.
Pada Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Nomor 118/1996 pada Bab II pasal 3 ayat (1) dan Keputusan Menteri Agama, Nomor 381 tahun 1999 tentang profesi pengawas dinyatakan bahwa pengawas sekolah/madrasah adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah umum dan madrasah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan pra-sekolah, sekolah dasar dan menengah (Departemen Agama RI, 2005: 3).
Mengacu pada SK MENPAN tersebut, maka pengawas sekolah/madrasah di lingkungan Kementerian Agama, khususnya Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam adalah Pengawas Pendidikan Agama Islam (PPAI), sehingga pengertiannya lebih spesifik sebagai berikut: Pengawas Pendidikan Agama Islam (PPAI) adalah pegawai negeri sipil di lingkungan Kementerian Agama yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh terhadap pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah umum dan penyelenggaraan pendidikan di madrasah dengan melakukan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan prasekolah, sekolah dasar dan menengah (Departemen Agama RI, 2003: 19).
Pengertian pengawas di atas, tidak lepas dari tipe-tipe kepengawasan. Burton dan Brueckner dalam Purwanto (2007: 79) menyatakan bahwa adanya lima tipe pengawasan yaitu inspeksi, laissezfaire, coercive, training and guidance, dan democratic leadership. Kelima tipe tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tipe Inspeksi
Inspeksi bukanlah suatu pengawasan yang berusaha menolong guru untuk mengembangkan dan memperbaiki cara dan daya kerja sebagai pendidik dan pengajar. Inspeksi dijalankan terutama dimaksud untuk meneliti/mengawasi apakah guru menjalankan apa-apa yang sudah diinstruksikan dan ditentukan oleh atasan atau tidak. Inspeksi akan melihat sejauh mana guru-guru menjalankan tugas-tugas yang telah ditentukan atasannya.
Para guru tidak pernah diminta pendapat, diajak merundingkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya, atau dengan kata lain musyawarah dan mufakat tidak berlaku. Inilah ciri pengawasan yang berlaku pada zaman kolonial dahulu, hingga kinipun masih terdapat sisa-sisanya dalam dunia pendidikan kita. Inspeksi digolongkan pada tipe kepengawasan yang otokratis.
2. Tipe Laissez- Faire
Kepengawasan Laissez- Faire yaitu dengan membiarkan guru-guru bekerja sekehendaknya tanpa diberi petunjuk dan bimbingan. Para guru boleh menjalankan tugasnya menurut apa yang mereka inginkan, boleh mengajar apa yang mereka inginkan dan dengan cara yang mereka kehendaki. Laissez- Faire merupakan tipe pengawasan yang sama sekali tidak konstruktif. Guru tidak memiliki pengertian yang tegas tentang batas-batas kewenangan dan tanggung jawab mereka masing-masing, sehingga sulit diharapkan adanya kerja sama harmonis yang sama-sama diarahkan ke satu tujuan.
3. Tipe Coercive Supervision
Tipe kepengawasan Coercive Supervision bersifat otoriter, yaitu di dalam tindakan kepengawasannya pengawas bersifat memaksakan segala sesuatu yang dianggapnya benar dan baik menurut pendapatnya sendiri. Pendapat dan inisiatif guru tidak dihiraukan atau tidak dipertimbangkan sehingga guru harus tunduk dan menuruti petunjuk-petunjuk yang dianggap baik oleh pengawas itu sendiri. Mungkin dalam hal tertentu kepengawasan tipe ini berguna dan sesuai, misalnya bagi guru-guru yang mulai belajar dan mengajar. Tidak ada pilihan bagi guru selain mentaati pengawas, pengawas tidak memberikan ruang khusus bagi guru.
4. Tipe Latihan Bimbingan
Tipe latihan bimbingan berlandaskan suatu pandangan bahwa pendidikan itu merupakan proses pertumbuhan bimbingan dan orangorang yang diangkat sebagai guru pada umumnya telah mendapat pendidikan pre-service di sekolah guru. Pengawasan yang dilakukan ialah melatih (to train) dan membimbing (to guide) kepada guru-guru dalam tugasnya.
5. Tipe Demokrasi
Tipe demokratis ini, pengawas bukan lagi suatu pekerjaan yang dipegang oleh seorang petugas, melainkan merupakan pekerjaan bersama yang dikoordinasikan. Tanggung jawab tidak dipegang sendiri oleh pengawas, melainkan dibagi-bagikan kepada para guru sesuai dengan tingkat, keahlian, dan kecakapannya masing-masing.
Tugas pokok Pengawas Pendidikan Agama Islam (PPAI) sesuai dengan SK MENPAN No. 118/1996 Bab II pasal 3 ayat (1) dikatakan bahwa: ” Tugas pokok PPAI adalah menilai dan membina teknis pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah umum, baik negeri maupun swasta, yang menjadi tanggung jawabnya”. Pengawas Pendidikan Agama Islam (PPAI) ini termasuk didalamnya penyelenggaraan pendidikan di Madrasah (Departemen Agama RI, 2005: 7).
Adapun bidang pengawasan
pendidikan agama Islam pada sekolah umum di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasionl meliputi: Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Menegah Umum (SMU), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah Luar Biasa (SLB), sedangkan pada madrasah di lingkungan Kementerian Agama meliputi: Raudhatul Atfal (RA) / Bustanul Atfal (BA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Diniyah (MADIN), baik negeri maupun swasta.