Miskonsepsi dalam Pembelajaran dan Pemahaman Konsep
Eureka Pendidikan. Wartono, dkk (2004:10) mengemukakan konsep adalah gagasan atau abtraksi yang dibentuk untuk menyederhanakan lingkungan. Sedangkan Euwe van den Berg (1991:8) mengemukakan konsep merupakan abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antara manusia dan yang memungkinkan manusia berfikir. Konsep dibentuk dengan menggolongkan hasil-hasil pengamatan dalam suatu kategori tertentu. Konsep disebut abstraksi karena konsep menyatakan proses penggambaran pada berbagai pengalaman aktual. Konsep tersusun sebagai penggambaran mental atas pengalaman yang teramati.
Konsep tidak hanya diperoleh dengan hanya pengamatan seperti melihat, mendengar atau merasa. Berbagai pengamatan harus dilakukan untuk mendapatkan kategori-kategori dan berdasar kategori inilah konsep dapat dibentuk. Kemampuan untuk membuat kesimpulan, kategori dan pola dalam bentuk konsep-konsep sangat penting untuk menyimpan berbagai informasi yang diterima. Jika manusia tidak mampu membentuk konsep maka akan banyak sekali hal-hal yang manusia harus ingat.
Setiap konsep tidak berdiri sendiri, melainkan setiap konsep berhubungan dengan konsep-konsep yang lain. Semua konsep bersama membentuk jaringan pengetahuan dalam kepala manusia. Semakin lengkap, terpadu, tepat dan kuat hubungan antara konsep-konsep dalam kepala seseorang, semakin pandai orang itu. Keahlian seseorang dalam suatu bidang studi tergantung lengkapnya jaringan konsep di dalam kepalanya.
Berdasarkan hal tersebut, maka konsep pada manusia terbentuk pada saat manusia mulai mampu untuk melakukan pengamatan terhadap lingkungan, kemudian memberikan tanggapan mental berupa informasi yang tersimpan dalam pemikirannya. Dengan demikian seorang anak sebelum mengikuti proses pendidikan dasar maka telah ada konsep-konsep terhadap lingkungannya. Konsep-konsep awal yang dimiliki oleh siswa sebelum pembelajaran disebut prakonsepsi.
Prakonsepsi dipengaruhi oleh pengalaman langsung, pengalaman berpikir, pengalaman fisik dan emosional melalui proses-proses sosial. Prakonsepsi yang dibawa oleh anak ke kelas tidaklah sama. Ada prakonsepsi anak yang memang sudah sesuai dengan kebenaran sains, tetapi ada juga yang tidak sesuai dengan kebenaran sains yang diajarkan di sekolah. Bagi anak yang sudah mempunyai prakonsepsi yang sudah sesuai dengan kebenaran sains yang diajarkan di kelas, maka dia akan merasa mudah menerima pelajaran tersebut tetapi jika sebaliknya maka dia akan kesulitan
belajar. Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan untuk mengarahkan prakonsepsi siswa tersebut.
Konsep-konsep awal yang tidak sesuai dengan kebenaran sains ini disebut miskonsepsi. Konsep awal tersebut didapatkan oleh peserta didik saat berada di sekolah dasar, sekolah menengah, dari pengalaman dan pengamatan mereka di masyarakat atau dalam kehidupan sehari-hari. Tidak jarang bahwa konsep siswa, meskipun tidak cocok dengan konsep ilmiah, dapat bertahan lama dan sulit diperbaiki atau diubah selama pendidikan formal. Menurut Suparno (2005:3) hal tersebut disebabkan oleh konsep yang siswa miliki, meskipun keliru, tetapi dapat menjelaskan beberapa persoalan yang sedang mereka hadapi dalam kehidupan mereka. Bahkan beberapa anak menggunakan konsep ganda dalam hal ini, yaitu konsep ilmiah digunakan di sekolah dan konsep sehari-hari untuk digunakan di masyarakat. Hal ini membuat para ahli baik pendidik maupun peneliti terlibat dalam membahas bagaimana terjadinya miskonsepsi, bagaimana miskonsepsi dapat diatasi dan kesulitan apa dalam mengatasinya.
Miskonsepsi atau salah konsep (Suparno, 2005:4) menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu. Begitu juga dengan Wartono, dkk (2004:25) mendefinisikan miskonsepsi adalah pemahaman alternatif yang tidak benar secara ilmiah. Miskonsepsi ini diyakini oleh siswa dan dijadikannya dasar untuk merespon masalah yang muncul. Dengan demikian miskonsepsi adalah ketidaksesuaian konsep yang dimiliki oleh siswa dengan konsep para ahli. Berdasarkan hal tersebut miskonsepsi fisika adalah ketidaksesuaian konsep fisika yang dimiliki oleh siswa dengan para fisikawan.
Secara garis besar penyebab miskonsepsi dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu siswa, guru, buku teks, konteks dan
metode mengajar. Penyebab yang berasal dari siswa dapat terdiri dari berbagai hal seperti prakonsepsi awal, kemampuan, tahap perkembangan minat, cara berpikir dan teman lain. Penyebab kesalahan dari guru dapat berupa ketidakmampuan guru, kurangnya penguasaan bahan, cara mengajar yang tidak tepat atau sikap guru dalam berelasi dengan siswa yang kurang baik. Miskonsepsi yang disebabkan oleh salah mengajar agak sulit dibenahi karena siswa merasa yakin bahwa yang diajarkan guru itu benar. Penyebab miskonsepsi dari buku terdapat pada penjelasan atau uraian yang salah dalam buku tersebut. Konteks, seperti budaya, agama dan bahasa sehari-hari juga mempengaruhi miskonsepsi siswa. Sedangkan metode mengajar hanya menekankan pada kebenaran satu segi sering memunculkan salah pengertian siswa (Suparno, 2005:29).
Kesalahan-kesalahan itu memang dapat dimengerti, terlebih bila kita tinjau dari sudut
pandang konstruktivisme, dimana pengetahuan itu adalah konstruksi siswa. Karena kebebasan mengonstruksi dan juga keterbatasan dalam mengonstruksi itulah maka siswa mengalami miskonsepsi meskipun diajar oleh guru secara tepat dan juga dengan buku yang baik.
Ada banyak cara untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi dalam bidang fisika. Secara garis besar langkah yang digunakan untuk membantu mengatasi miskonsepsi adalah:
a. Mencari atau mengungkap miskonsepsi yang dilakukan siswa.
Paul Suparno (2005:56) menjelaskan bahwa untuk dapat memahami gagasan siswa beberapa hal dapat dilakukan antara lain:
- Siswa dibebaskan mengungkapkan gagasan dan pemikirannya mengenai bahan yang sedang dibicarakan. Hal ini dapat dilakukan secara lisan atau tertulis
- Guru memberi pertanyaan kepada siswa tentang konsep yang biasanya membuat siswa bingung dan siswa diminta menjawab sejara jujur.
- Guru mengajak siswa untuk berdiskusi tentang bahan tertentu yang biasanya mengandung miskonsepsi, dan guru membiarkan siswa berdiskusi dengan bebas.
b. Mencoba menemukan penyebab miskonsepsi tersebut
Kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengetahui sebab miskonsepsi, antara lain:
- Guru melakukan wawancara pribadi ataupun umum di depan kelas
- Memberikan pertanyaan tertulis yang diberikan kepada siswa. Sangat baik bila disatukan dengan miskonsepsi siswa
c. Mencari perlakuan yang sesuai untuk mengatasi.
Metode mengajar yang dilakukan untuk meminimalisasi miskonsepsi haruslah sesuai dengan kebutuhan siswa, efektivitas metode tersebut. Hal ini tentunya diperlukan kejelian pendidik memilih metode yang cocok untuk materi tertentu.